MERBABU: MENUJU CERITA PENDAKIAN PENUH DRAMA #2
09.01
Waktu menunjukkan pukul 12.15 PM, ketika tulisan "Terminal Tirtonadi" yang besar tertangkap mataku. Yeay... akhirnya sampai juga di Solo! Perjalanan Surabaya - Solo, akhirnya berhasil ditempuh dalam 9 jam. Padahal berdasar informasi yang sempat aku kumpulkan, dalam keadaan normal seharusnya jarak Surabaya - Solo bisa ditempuh dalam 5-6 jam dengan bis antarkota. Well... ini bukan keadaan normal. Beberapa ruas jalan memang terlihat padat, bahkan macet panjang.
Namun ini bukanlah akhir dari perjalanan keberangkatan kami. Setelah berjuang melawan sejuta umat demi berebut bis ke Solo disini, kami masih harus berganti bis dan angkutan umum lainnya untuk sampai di Pos Perijinan Wekas Gunung Merbabu. Maka setelah mengisi perut yang kosong dan sekadar membasuh muka di Terminal Tirtonadi, kami pun melanjutkan perjalanan ke Salatiga dengan bus Solo - Semarang. Tujuan pemberhentian kami, perempatan Pasar Sapi Salatiga. Beruntung kali ini kami dapat tempat duduk yang nyaman dan nggak perlu berdesak-desakan kembali. Kesempatan emas ini, tentunya bagus banget buat tidur. Meski hanya 1-2 jam, tapi cukup buat memulihkan tenaga kembali. Eh btw, untuk ongkos bis dari Solo ke Salatiga, kami hanya perlu merogoh kocek 13K per orang.
Namun ini bukanlah akhir dari perjalanan keberangkatan kami. Setelah berjuang melawan sejuta umat demi berebut bis ke Solo disini, kami masih harus berganti bis dan angkutan umum lainnya untuk sampai di Pos Perijinan Wekas Gunung Merbabu. Maka setelah mengisi perut yang kosong dan sekadar membasuh muka di Terminal Tirtonadi, kami pun melanjutkan perjalanan ke Salatiga dengan bus Solo - Semarang. Tujuan pemberhentian kami, perempatan Pasar Sapi Salatiga. Beruntung kali ini kami dapat tempat duduk yang nyaman dan nggak perlu berdesak-desakan kembali. Kesempatan emas ini, tentunya bagus banget buat tidur. Meski hanya 1-2 jam, tapi cukup buat memulihkan tenaga kembali. Eh btw, untuk ongkos bis dari Solo ke Salatiga, kami hanya perlu merogoh kocek 13K per orang.
Sampai di Perempatan Pasar Sapi Salatiga, kami bertemu dengan kelompok pendaki lain. Rupanya sama seperti kami, mereka pun hendak mendaki Gunung Merbabu via jalur pendakian Wekas.
Maka demi menghemat ongkos dan waktu, kami berlima sepakat bergabung dengan sembilan orang pendaki (dari 2 kelompok btw. 1 kelompok berisi 6 orang dari rombongan Jakarta, sedang 1 kelompok lainnya terdiri dari 3 orang mahasiswa dari Surabaya) yang sudah ada disana untuk menyewa mobil rame-rame. Setelah proses tawar-menawar dan hitung-hitung, akhirnya disepakati per orang harus bayar ongkos sewa mobil sebesar 21.500.
Perjalanan dari Perempatan Pasar Sapi Salatiga kami nikmati dengan sukacita. Sembari kenalan, ngobrol sana-sini dengan pendaki kelompok lain, kami juga bercanda gurau. Tidak ada rasa segan ataupun kikuk sedikitpun. Kami berbaur dan ngobrol layaknya teman lama. Suasana begitu hangat dan menyenangkan, hingga kami tiba di sebuah pos..
Kami yang kebayakan baru pertama kali ini mau naik ke Gunung Merbabu, tentunya sumringah. Dalam benak kami, inilah pos perijinan jalur pendakian Wekas. Maka kami pun turun dari mobil dengan riang untuk mengurus perijinan. Yes!
"Disini basecamp jalur pendakian via Genikan...", ucap salah seorang bapak yang menyambut kedatangan rombongan kami.
"Hah??? Kok Genikan? Kok bukan Wekas?". Tiba-tiba muncul sejuta pertanyaan dibenakku. Apa aku mendadak kena amnesia sampai jadi salah jurusan gini? Atau pak supir salah mengantarkan kami? Kepalaku tiba-tiba pusing. Berkunang-kunang. Mau pingsan, tapi nggak tau caranya pura-pura pingsan.
"....... nanti dari sini bisa ketemu sama yang jalur Wekas sebelum Pos 2", lanjut bapak-bapak lainnya. Entah apa saja yang sudah para bapak-bapak ini sampaikan. Yang dapat aku tangkap dan ingat, hanya poin ini. Poin penting dan paling penting, bagiku.
Well okay... nggak masalah lah naiknya bukan dari pos perijinan Wekas selama nanti masih bisa ketemu Pos 2 yang di jalur Wekas. Aku dan kelompokku butuh air. Jadi harus banget ke Pos 2 jalur Wekas yang ada sumber airnya.
Setelah membayar uang 5.000/orang dan mencatatkan diri di buku perijinan, kami segera masuk kembali ke dalam mobil untuk melanjutkan perjalanan. Matahari sudah semakin melipir. Kami harus bergegas agar tidak terlalu malam saat memulai pendakian. Roda mobil mulai berputar kembali, menyusuri jalanan sempit yang menanjak.
Beberapa menit kemudian....
Mobil kami kembali dihentikan oleh sejumlah orang. "Oh... mungkin ini batas mobil boleh masuk", pikirku kala itu, sebelum mendengar kasak-kusuk teman-teman bahwa ada masalah yang tersenyum menyambut kami.
".... jalur pendakian ini Mas yang legal. Kalo yang dibawah itu ilegal".
"hah gimana pak? Ilegal? Ini basecamp jalur pendakian via apa, Pak?", tanyaku bingung. Ada apa ini?
"Gini mbak, ini jalur pendakian via Wekas. Disini basecamp yang resmi. Yang ada tanda dari Taman Nasional. Kalau yang dibawah Mbak tadi itu nggak resmi. Nggak ada dari Taman Nasional. Nanti kalau ada apa-apa mereka nggak bisa tanggung jawab.....", jelas salah seorang bapak-bapak yang duduk diatas motornya.
Dhuarrrrr!
Tiba-tiba kayak ada petir di siang bolong. Drama apa ini? Taman Nasional apa? Aku nggak paham :((
Kami dalam masalah. Ijin yang kami kantongi dari --yang katanya-- basecamp pendakian via Genikan itu ternyata palsu. Iya aku bilang PALSU. Karena nyatanya, ijin itu nggak bisa diakui secara resmi dan nggak bisa dipertanggung jawabkan. Pun nggak ada asuransinya seumpama terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Duh.
Sebenarnya bisa saja kami "mengikhlaskan" uang perijinan yang telah kami bayar di Pos Genikan, dan melakukan pendaftaran lagi di Pos Wekas. Dan kami se-mobil memang berniat seperti itu. Karena toh kalau kami daftar disini, pendaftaran yang sebelumnya akan gugur. Daripada kami harus berlama-lama dan ribet ini-itu sedangkan hari sudah mulai gelap.
Namun ternyata tidak semudah itu. Bapak-bapak yang bertugas menjaga Pos Perijinan jalur Wekas tidak mengizinkan kami "mengamalkan" uang meski hanya 5.000/orang kepada orang-orang di Pos Genikan. Pertimbangan mereka, kalau yang kayak gini dibiarin, maka nantinya akan ada banyak rombongan lain yang termakan "rayuan manis" dari orang-orang di Pos Genikan tersebut. Okay! Kami paham sepenuhnya maksud bapak-bapak ini. Maka demi masa depan bangsa dan negara yang cerah, kami para pemuda-pemudi yang budiman ini rela turun kembali ke Pos Genikan untuk "meminta" uang kami kembali dan membatalkan perijinan. Kemudian putar arah lewat jalan sempit lainnya agar dapat tiba di jalur perijinan Wekas tanpa lewat Genikan.
Omaigatttt!!!
Kami tahu, perkara turun kembali ke Jalur Genikan bukan perkara mudah yang bisa kami anggap remeh. Niat kami untuk segera memulai melakukan pendakian sebelum petang harus tertunda. Belum lagi, kami sama sekali tidak tahu bagaimana akan menghadapi bapak-bapak di Pos Genikan. Iya kalau mereka mau mengembalikan uang kami dengan mudah tanpa perlu berurusan panjang. Tapi gimana kalau mereka nggak mau? Kami harus berbuat apa?
Kami tahu, perkara turun kembali ke Jalur Genikan bukan perkara mudah yang bisa kami anggap remeh. Niat kami untuk segera memulai melakukan pendakian sebelum petang harus tertunda. Belum lagi, kami sama sekali tidak tahu bagaimana akan menghadapi bapak-bapak di Pos Genikan. Iya kalau mereka mau mengembalikan uang kami dengan mudah tanpa perlu berurusan panjang. Tapi gimana kalau mereka nggak mau? Kami harus berbuat apa?
Hari sudah semakin gelap. Drama panjang didepan mata. Aku sempat berpikir, kalau seperti ini sebenarnya salah siapa? Bagaimana cara menyikapinya dengan baik agar semua pihak tidak merasa dirugikan?
Mungkin bagi kami, uang 5.000 yang kami keluarkan masing-masing tidaklah berarti besar. Tapi bagaimana dengan orang lain? Yang meski nyatanya kami rugi waktu dan harus mondar-mandir demi bisa memulai pendakian. Jika memang perijinan di Pos Genikan bukanlah perijinan resmi dan tidak sah, bukankah seharusnya dibubarkan saja? Begitupun dengan orang-orang yang di Pos Genikan. Jika memang perijinan kalian adalah "ilegal", tolong jangan membuat para pendaki seperti kami merasa seperti dipermainkan. Barangkali kalian memang merasa berhak untuk mendapat royalti dari pendaki yang lewat, bukankah akan lebih baik jika kalian minta saja "uang portal", "uang lewat", atau apalah yang akhirnya tidak membuat bingung. Tapi jika saja "uang portal" atau sejenisnya itu kalian berlakukan, maka sepertinya di daerah lain nantinya juga akan berlaku "uang portal" lainnya. Maka bisa-bisa uangku akan habis bahkan sebelum sampai di Pos Perijinan yang sesungguhnya.
Rencana pendakian yang sudah kami canangkan sebelumnya totally berantakan. Jadi gimana? Tetap bakal lanjut naik gunung atau cari hotel dan liburan ala koper aja nih di Solo?
Mungkin bagi kami, uang 5.000 yang kami keluarkan masing-masing tidaklah berarti besar. Tapi bagaimana dengan orang lain? Yang meski nyatanya kami rugi waktu dan harus mondar-mandir demi bisa memulai pendakian. Jika memang perijinan di Pos Genikan bukanlah perijinan resmi dan tidak sah, bukankah seharusnya dibubarkan saja? Begitupun dengan orang-orang yang di Pos Genikan. Jika memang perijinan kalian adalah "ilegal", tolong jangan membuat para pendaki seperti kami merasa seperti dipermainkan. Barangkali kalian memang merasa berhak untuk mendapat royalti dari pendaki yang lewat, bukankah akan lebih baik jika kalian minta saja "uang portal", "uang lewat", atau apalah yang akhirnya tidak membuat bingung. Tapi jika saja "uang portal" atau sejenisnya itu kalian berlakukan, maka sepertinya di daerah lain nantinya juga akan berlaku "uang portal" lainnya. Maka bisa-bisa uangku akan habis bahkan sebelum sampai di Pos Perijinan yang sesungguhnya.
Rencana pendakian yang sudah kami canangkan sebelumnya totally berantakan. Jadi gimana? Tetap bakal lanjut naik gunung atau cari hotel dan liburan ala koper aja nih di Solo?
2 comments
Dramanya asyik. Keren. Kenapa ngga disuruh kembali ke Solo saja. Bahwa kalau mau naik ke Merbabu harus pakai bus EKA, jika naik Mira, itu illegal dan silahkan minta uang kalian ke Mira.
BalasHapusHahaha...
Indahnya negeri kita ini.
Demi kebaikan bersama...
BalasHapus