[Menjajal] Hukum Tiga Detik dan Hukum Minimalis
14.07
Waktu itu, aku belum benar-benar memutuskan mau beneran ganti produk skincare atau nggak. Maksudnya, keinginan itu masih 60-40. 60% ingin ganti produk, 40% ingin tetap pakai produk dokter kecantikan.
Tapi alhamdulillah, setelah krim-krim akhir tahun 2016 kemarin beneran habis, hingga hari ini (terhitung kurang lebih 3 bulan), aku beneran sudah lepas dari krim-krim dokter kecantikan tersebut. Mengenai produknya apa, mungkin lain kali mau aku tulis dalam tulisan yang berbeda.
Untuk tulisan ini, aku mau curhat (curhat mulu deh!) lagi soal perubahan kecil yang mulai aku lakukan belakangan ini. Selain soal perubahan skincare itu tentunya.
Hari ini, aku baca tulisan Kang Mas Azrul Ananda mengenai "Hukum Tiga Detik" di sini.
Tak butuh waktu lama, setelah membaca tulisan itu, aku mulai berniat untuk ikut menerapkan hukum tiga detik tersebut. Keputusan itu juga aku ambil dalam waktu tiga detik (atau mungkin lebih ya?) setelah selesai membaca tulisan tersebut. Bahkan dalam waktu tiga detik berikutnya, aku juga memutuskan membuat tulisan ini. Ha ha ha. Dipas-pas-in lah ceritanya.
Kenapa tertarik ikutan hukum tiga detik?
Sebelum membaca tulisanKang Mas Azrul tersebut, jujur aja sih, aku sering banget dilema untuk hal-hal sepele, yang sebenernya nggak perlu banyak pertimbangan. Atau mungkin bahkan nggak perlu dibingungkan sama sekali.
Misalnya.
Persoalan mau makan apa.
Makan soto ayam apa makan bakso ya?
Makan nasi goreng atau mie goreng ya?
Makan penyetan (sego sambel) atau tahu telur ya?
Se-sepele itu, dan se-enggak penting itu.
Makanya nggak jarang, aku sendiri mikir. Yaelah, urusan makan aja segininya, apa kabar milih jodoh? Halah.
Bukan berarti aku orangnya nggak bisa cepet ngambil keputusan sih. Nggak jarang juga kok, aku bisa ngambil keputusan dengan cepat. Hanya sajaaaa, urusan se-sepele ini ngapain sih dipikirin sampe segitunya? Bikin capek sendiri ya-nggak-sih?
That's why, aku beneran tertarik banget buat nyoba nerapin hukum tiga detik ini. Seenggaknya kalau belum bisa nerapin ke hal-hal yang gede, aku bisa coba terapin ke hal-hal sepele dulu. He he he. Ada yang tertarik ikut nyoba nerapin juga?
Kemudian yang kedua selain Hukum Tiga Detik itu, beberapa hari ini aku mulai nyoba nerapin hidup minimalis yang banyak dilakukan sama orang di Jepang. Aku lupa pernah baca di mana, tapi kalau nggak salah, mereka menerapkan konsep ini karena di sana sering gempa. Jadi sering kehilangan barang kesayangan dll. Makanya kemudian mereka menerapkan hidup minimalis ini. Tapi... CMIIW yaaa! Ini aku bacanya udah lama banget, jadi rada lupa-lupa ingat. Jadi siapa tahu ternyata salah monggo dikoreksi :)
Aku ini orangnya rada perfectionist-yang lebih cenderung ribet sama diri sendiri.
Sebelum membaca tulisan
Misalnya.
Persoalan mau makan apa.
Makan soto ayam apa makan bakso ya?
Makan nasi goreng atau mie goreng ya?
Makan penyetan (sego sambel) atau tahu telur ya?
Se-sepele itu, dan se-enggak penting itu.
Makanya nggak jarang, aku sendiri mikir. Yaelah, urusan makan aja segininya, apa kabar milih jodoh? Halah.
Bukan berarti aku orangnya nggak bisa cepet ngambil keputusan sih. Nggak jarang juga kok, aku bisa ngambil keputusan dengan cepat. Hanya sajaaaa, urusan se-sepele ini ngapain sih dipikirin sampe segitunya? Bikin capek sendiri ya-nggak-sih?
That's why, aku beneran tertarik banget buat nyoba nerapin hukum tiga detik ini. Seenggaknya kalau belum bisa nerapin ke hal-hal yang gede, aku bisa coba terapin ke hal-hal sepele dulu. He he he. Ada yang tertarik ikut nyoba nerapin juga?
Kemudian yang kedua selain Hukum Tiga Detik itu, beberapa hari ini aku mulai nyoba nerapin hidup minimalis yang banyak dilakukan sama orang di Jepang. Aku lupa pernah baca di mana, tapi kalau nggak salah, mereka menerapkan konsep ini karena di sana sering gempa. Jadi sering kehilangan barang kesayangan dll. Makanya kemudian mereka menerapkan hidup minimalis ini. Tapi... CMIIW yaaa! Ini aku bacanya udah lama banget, jadi rada lupa-lupa ingat. Jadi siapa tahu ternyata salah monggo dikoreksi :)
Aku ini orangnya rada perfectionist-yang lebih cenderung ribet sama diri sendiri.
Misalnya.
Kalau pergi kemana-mana, aku sering bawa banyak banget barang ---yang kata temen-temen sih barang nggak penting--- di dalam tas. Yang payunglah, novel lah, notebooks lah, beberapa biji lipstik, remover make up, kamera, dan sebagainya dan sebagainya.
Well, bagi aku semua barang itu penting dan WAJIB di bawa.
Payung, buat persediaan kalau tiba-tiba hujan turun.
Kamera, buat motretin apa aja yang menurutku bagus buat diabadikan.
Novel, buat dibaca waktu senggang atau waktu nunggu, daripada sibuk main hape.
Notebooks, buat nyatet apa aja hal atau ide yang penting. Mengingat aku ini rada pelupa, makanya aku pikir butuh banget bawa ini kemana-mana.
Dan sebagainya dan sebagainya.
Nah... karena barang-barang itu, makanya kemanapun aku pergi, tas bawaanku hampir selalu berasa berat! Meski cuma sekedar nongkrong ke kafe deket rumah, atau ngemal tipis buat nonton. Ini karena aku benci banget, pas lagi butuhin barang, tapi ternyata barang itu malah nggak aku bawa.
Makanya, meski tas berat yang lebih mirip kantong doraemon itu selalu aku bawa sendiri (yaiyalah sapa coba yang mau bawain sih?), banyak yang suka protes karena terlalu banyak barang yang aku bawa. Rempong, kata mereka.
Salah satu alasan tersebut, makanya aku pengen nerapin hidup minimalis ini.
Termasuk nyimpen barang-barang yang ada di kamar kos. Kebayang nggak sih, aku yang kalau pergi keluar bentar aja bawa barang serempong itu, lah apa kabar barang yang ada di kamar kosku?
Kamar kos yang nggak luas itu jadi penuh sama barang-barang printilan segala macem dan pakaian di mana-mana.
Ini kadang, bikin aku ngerasa sumpek sendiri sama barang-barangku.
Makanya kemudian, aku nerapin hukum ini dengan "mulangin" beberapa barang yang aku anggep nggak terlalu dibutuhin ke rumah orang tua.
Pelan-pelan dulu. Dikit-dikit aja dulu.
Nggak perlu buru-buru.
Nanti kalau udah mulai terbiasa, kayaknya aku bisa ngasihkan beberapa barang atau pakaian yang masih layak pakai ke orang yang membutuhkan. Ya toh?
Kamera, buat motretin apa aja yang menurutku bagus buat diabadikan.
Novel, buat dibaca waktu senggang atau waktu nunggu, daripada sibuk main hape.
Notebooks, buat nyatet apa aja hal atau ide yang penting. Mengingat aku ini rada pelupa, makanya aku pikir butuh banget bawa ini kemana-mana.
Dan sebagainya dan sebagainya.
Nah... karena barang-barang itu, makanya kemanapun aku pergi, tas bawaanku hampir selalu berasa berat! Meski cuma sekedar nongkrong ke kafe deket rumah, atau ngemal tipis buat nonton. Ini karena aku benci banget, pas lagi butuhin barang, tapi ternyata barang itu malah nggak aku bawa.
Makanya, meski tas berat yang lebih mirip kantong doraemon itu selalu aku bawa sendiri (yaiyalah sapa coba yang mau bawain sih?), banyak yang suka protes karena terlalu banyak barang yang aku bawa. Rempong, kata mereka.
Salah satu alasan tersebut, makanya aku pengen nerapin hidup minimalis ini.
Termasuk nyimpen barang-barang yang ada di kamar kos. Kebayang nggak sih, aku yang kalau pergi keluar bentar aja bawa barang serempong itu, lah apa kabar barang yang ada di kamar kosku?
Kamar kos yang nggak luas itu jadi penuh sama barang-barang printilan segala macem dan pakaian di mana-mana.
Ini kadang, bikin aku ngerasa sumpek sendiri sama barang-barangku.
Makanya kemudian, aku nerapin hukum ini dengan "mulangin" beberapa barang yang aku anggep nggak terlalu dibutuhin ke rumah orang tua.
Pelan-pelan dulu. Dikit-dikit aja dulu.
Nggak perlu buru-buru.
Nanti kalau udah mulai terbiasa, kayaknya aku bisa ngasihkan beberapa barang atau pakaian yang masih layak pakai ke orang yang membutuhkan. Ya toh?
Begitulah.
Mungkin kamu juga punya suatu perubahan yang lagi atau pingin dilakukan?
0 comments