Aku Butuh (dan Harus) Menulis
07.42
“Mbak, aku
kemarin kan habis ikut tes, terus ada semacam tes buat ngukur tingkat
kesetresan kita* (waktu itu kayaknya sepupuku sempat nyebutin nama tesnya, tapi
aku lupa) terus ternyata hasilnya tingkat stres ku lumayan (ada di level
sedang) loh. Padahal aku nggak ngerasa lagi stres…”
Waktu itu,
aku sempat bingung (sepertinya masih belum terlalu paham juga sih sampai
sekarang). Eh ada ya tes semacam itu? Terus bisa gitu ya orang yang lagi stres,
pusing atau banyak pikiran gitu tapi nggak ngerasa kalau lagi stres? Aku sempat
nanya juga apa dia lagi pusing mikirin sesuatu? Tapi dia bilang, nggak.
Kemudian tanpa
berusaha mencari tahu lagi, aku melupakannya gitu aja. Sampai kemudian teringat
lagi waktu akhir-akhir ini banyak berita tentang orang yang depresi. Baru kemudian
aku seperti tersadar, “waduh bahaya banget dong kalau stres kemudian sampai
depresi dan bunuh diri?”.
Padahal kalau
dipikir-pikir lagi, semua orang pasti punya masalah dan beban hidupnya
masing-masing. Ya kan?
Aku sendiri
sering ngerasa pusing kalau ada masalah. Sering galau, ngeluh juga kenapa beban
hidupku (rasanya) berattt banget. Kadang kalau saking stresnya, aku bisa
tiba-tiba nangis kencang saat baru bangun tidur. Padahal nggak abis mimpi buruk
atau mikir apapun. Yang waktu lagi nangis gitu juga, aku dengan sadar mikir, “lah
ngapain ini aku nangis?”, “Apa yang
bikin aku nangis?” atau sejenisnya, tapi tetap sambil nangis kenceng sampai
capek. Teman-teman ada yang pernah ngalamin kayak aku gitu juga nggak?
Aku termasuk
orang yang suka curhat, terlebih curhat colongan. Kadang malah aku bisa curhat
sama siapa aja, nggak peduli tempat atau waktu. Tapi, aku jaraaanggg banget
bisa curhat blak-blakan. Kalau lagi curhat, seringnya aku cuma ngasih tahu
garis besarnya aja. Jadi nggak jarang aku ngerasa masih tetap ada yang
ngeganjel meski habis curhat. Ini bukan karena aku nggak bisa percaya sama
orang lain. Bukan juga karena aku nggak punya sahabat dekat atau takut mereka
akan menjauh setelah tau aibku. Bukan. Aku punya sahabat-sahabat yang aku tahu,
mereka bisa menjaga semua rahasiaku dengan baik, dan nggak akan meninggalkanku
meski tahu aibku sekalipun. *pede ajee*
Mungkin ini
semacam kebiasaan? Idk.
Sebelumnya, aku
ngerasa semuanya baik-baik aja. Aku tetap baik-baik aja kok meski nggak cerita
masalahku ke siapa-siapa. Aku strong kok!
Sebelumnya.
Yang kemudian
belakangan, aku sadar, aku sebetulnya nggak baik-baik aja. Aku nggak sekuat itu
sampai bisa menyimpan dan menyelesaikan semuanya sendirian. Aku butuh dukungan.
Aku butuh didengar dan aku butuh dikuatkan.
Sekali (oh nggak juga! lebih dari sekali sebenarnya) aku
pernah takut, apa jangan-jangan aku punya masalah kejiwaan? Apa nantinya kalau
aku akhirnya ndak kuat lagi, aku bisa gila atau depresi? (sumpah, naudzubillah min dzalik!)
Dari situ lalu aku mencoba
mengenali diriku kembali.
Kemudian aku
mencoba menjalani “terapi” yang aku rencanakan sendiri.
Aku belum
mencoba pergi ke psikiater atau konsultasi pada ahli karena belum merasa butuh.
Aku cuma
berusaha untuk lebih mengenali diriku sendiri. Lagi. Lagi. Dan lagi.
Kemudian aku
memutuskan, aku harus menulis. Menulis apapun. Di manapun.
Jadi, saat
otakku rasanya penuh, aku segera mencari media apapun untuk menulis. Bisa di
notes kecil yang sering aku bawa-bawa di dalam tas. Bisa di smartphone. Bisa di
media sosial. Bisa juga di blog. Seperti saat ini, aku nulis dari smartphone saat nunggu bis. Demi meyakinkan otakku tetap sehat dan bekerja dengan baik.
Aku menulis,
tak jarang cuma corat-coret nggak jelas, sampai aku ngerasa otakku lebih plong. Mungkin beberapa orang melakukannya dengan hal lain. Misalnya dengan menggambar, mewarnai, yoga atau lainnya agar tetap stabil dan terkontrol. Mungkin. Setelah menulis, aku mendesah lega sambil mencoba tersenyum lebar. Meyakinkan diri
kalau aku sudah lebih baik dan semuanya akan baik-baik aja. Ada Allah yang akan
selalu melindungiku.
All izz well
and everything's gonna be alright!
0 comments