Bertarung Dengan Diri Sendiri
14.22
Tahap tersulit setelah mengambil keputusan
adalah menerima kenyataan dan konsekuensinya.
Sulittt sekali, sampai rasanya aku belum bisa
memaafkan dan berdamai dengan diri sendiri sampai saat ini. Padahal selang
waktunya sudah lumayan lama.
Memaafkan diri sendiri ternyata (kadang)
lebih sulit daripada memaafkan orang lain yaa…
Berkali-kali aku mencoba meyakinkan diri
sendiri kalau keputusan yang aku ambil ini benar. Inilah jalan terbaik baik
bagi aku, bagi 'dia', bagi kami.
Beberapa waktu lalu, aku “putus” dengan salah satu project kesayanganku. Saat itu, memang ada beberapa project yang aku kerjakan dalam waktu bersamaan. Tapi project yang satu ini adalah project yang paling aku sayang.
Meski terkesan mengerjakannya dengan santai, tapi
aku berusaha mencurahkan semuanya dalam project tersebut. Waktu, materi, tenaga,
bahkan perasaan. Aku mengerjakannya seolah project ini adalah bayi kecilku yang
benar-benar harus dirawat dan dijaga dengan baik agar bisa tumbuh sempurna,
bukanlah sampingan semata.
Tapi ternyata semuanya memang nggak mudah.
Terpaan badai berkali-kali datang. Sayangnya,
badai yang berulang kali datang itu adalah badai yang sama, tapi dengan tingkat
yang berbeda. Aku sudah coba beberapa cara biar tetap bisa berdiri tegak
melewati badai-badai itu. Ya tapi ternyata, aku pun tumbang. Aku kalah dengan
badai br*ngs*k itu.
Saat akan memutuskan untuk mengakhirinya pun tidak
mudah. Berulang kali aku bertanya pada diriku sendiri, “apa memang benar sudah
tidak bisa dipertahankan lagi?”, "Apa memang sudah tidak ada cara lagi?".
Tapi ternyata, waktu itu keputusan akhirnya tetap bulat. Semuanya harus S E L E S A I sampai di sini. Lalu setelah itu, aku berkali-kali meyakinkan diri sendiri, kalau keputusan untuk mengakhirinya adalah keputusan yang terbaik. Pun tidak ada yang salah di sini. Tidak partnerku, tidak juga aku, tidak juga keadaan. Hanya saja, memang jalannya harus seperti ini. Toh, memang tidak semua hal bisa dipaksakan berjalan seperti keinginan kan?
Tapi ternyata, waktu itu keputusan akhirnya tetap bulat. Semuanya harus S E L E S A I sampai di sini. Lalu setelah itu, aku berkali-kali meyakinkan diri sendiri, kalau keputusan untuk mengakhirinya adalah keputusan yang terbaik. Pun tidak ada yang salah di sini. Tidak partnerku, tidak juga aku, tidak juga keadaan. Hanya saja, memang jalannya harus seperti ini. Toh, memang tidak semua hal bisa dipaksakan berjalan seperti keinginan kan?
Sampai kemudian, beberapa bulan berjalan,
ternyata aku masih belum bisa berdamai dengan kenyataan. Aku belum sepenuhnya
sanggup menerima kenyataan dan konsekuensi dari keputusan tersebut. Aku belum
memaafkan diriku sendiri…
“Orang yang memutuskan untuk mengakhiri
sesuatu/hubungan, bisa jadi justru adalah orang yang paling menderita dengan
keputusannya.”
Sampai hari ini, ternyata aku masih belum bisa move on. Ada kalanya aku masih akan bergalau-galau ria kalau ingat. Masih akan menyalahkan diri karena gagal mempertahankan. Masih sering berandai-andai kalau kenyataannya berbeda..
Sampai hari ini, ternyata aku masih belum bisa move on. Ada kalanya aku masih akan bergalau-galau ria kalau ingat. Masih akan menyalahkan diri karena gagal mempertahankan. Masih sering berandai-andai kalau kenyataannya berbeda..
0 comments