Pak Dahlan, Gara-Gara Ayah, Aku Terdiam
17.31
Minggu lalu waktu pulang ke rumah orang tua, aku kelimpungan karena buku yang belum khatam kubaca, buku Manajemen Pemasaran Dan Jasa, tiba-tiba raib. Biasanya kalau lagi baca buku di rumah dan belum khatam, aku suka naruh gitu aja di atas lemari kamar. Biar minggu berikutnya kalau pulang lagi, bisa aku lanjutin baca. Biar nggak sibuk nonton drama mulu.
Besokannya ternyata aku baru tahu kalau buku yang kucari-cari itu ada di atas meja ruang tamu. Wah kalau bisa ada di sana berarti tersangkanya ayahku. Biasanya cuma beliau yang suka duduk berlama-lama di ruang tamu. Baca buku, main hp, baca Al-Qur'an, atau ngapain aja. Tempat favoritnya memang ruang tamu, kecuali kalau lagi mau nonton TV di ruang tengah.
Dari dulu ayahku memang hobinya baca. Baca kitab terjemahan, baca buku, baca biografi, baca berita, baca apa aja tapi bukan novel. Salah satu penulis favoritnya itu Dahlan Iskan. Setiap hari nggak pernah kelewatan buka website disway. Lalu ngasih tahu ke aku. Ke ibuku. Aku suka baca juga gara-gara ayah. Aku suka baca-baca tulisannya Dahlan Iskan juga gara-gara ayah. Sampai-sampai belajar niruin gaya tulisan Dahlan Iskan. Iya. Tulisan ini juga sengaja aku nulisnya dengan gaya niruin tulisan Pak Dahlan. Siapa tahu nanti ayah jadi suka sama tulisanku dan mau baca blogku juga tiap hari. Nah, kira-kira sudah mirip belum?
Dulu waktu masih sekolah Madrasah Ibtida'iyah (setingkat SD), ayah sama ibu pernah ngasih buku diary. Bukunya lucu dan ada gemboknya. Hanya aku yang sepertinya pernah dikasih buku diary seperti ini. Adik-adikku tidak. Nggak tau kenapa aku yang dipilih. Katanya biar aku belajar nulis. Dimulai dari nulis cerita atau pengalaman sehari-hari di sana. Siapa tahu nanti bisa dijadiin buku atau film. Seperti salah satu film terkenal masa itu, yang aku lupa judulnya dan malas nyari tahu.
Sejak itu aku jadi suka nulis. Nulis diary. Nulis curhatan. Sejak lama sebelum kenal blog. Sejak sebelum nama Raditya Dika terkenal. Sampai sekarang jadi masih suka nulis. Nulis curhatan. Bukan di buku diary lagi. Tapi di blog. Di sosial media. Dibaca banyak orang. Iuh. Unfaedah.
Jadi kalau sampai sekarang aku suka nulis, itu gara-gara ayah. Kalau aku suka baca, itu gara-gara ayah. Tapi tulisanku belum bisa sekeren tulisan Dahlan Iskan, itu bukan salah ayah.
Aku pernah bilang ke ayah, aku pengen bisa nulis sekeren Dahlan Iskan. Tapi belum bisa. Susah. Lalu ayahku sambil tertawa bilang, belajar lagi. Tidak mudah. Butuh waktu. Kalah jam terbang. Aku terdiam.
0 comments