Karena keputusan resign bukan hal yang mudah dan sepele, jadi aku lumayan lama mikirnya. Galau bangett. Lumayan banyak juga yang aku obrolin bareng suami buat bahan pertimbangan. Karena kebiasaan baru, journey baru, rutinitas baru, tentunya ya banyak juga perubahan dan kebiasaan yang harus disesuaikan. Ya kan? Atau akunya aja yang overthinking?
Tapi aku mau sharing ya apa aja ke-overthinking-anku yang aku obrolin bareng suami. Mungkin nggak semua aku tulis, ya maklumin ya tolong. Agak pelupaan banget nih orangnya wkwkwk
- Pekerjaan domestik. Iya, pekerjaan rumah.
Kemarin-kemarin waktu masih kerja di luar, sebelum resign, kerjaan rumah menjadi tanggung jawab berdua aku dan suami. Mungkin nggak semuanya, tapi sebisa mungkin dilakukan berdua. Misal, aku masak, suami yang cuci piring. Suami yang masukin cucian ke mesin cuci, aku kadang bantuin jemur bareng-bareng, sama nyetrika. Intinya, suami masih ikut andil mengerjakan pekerjaan domestik. Nah, setelah aku resign, apa nantinya suami jadi nggak mau ikut andil lagi ngurusin kerjaan domestik? Ini sempet bikin aku overthinking banget sih. Mungkin memang tanpa andil suami, aku bisa ngerjain semuanya sendiri. Tapi, kalau suami ikut andil rasanya jadi lebih ringan karena ada support gitu gasih? Karena menurutku ini hal penting, jadi sebelum mengajukan surat resign, aku obrolin ini sama suami. Lalu kata suami, yang berubah cuma tempat kerjaku, nggak semuanya. Urusan kerjaan rumah, ya tetap kayak biasa dikerjain berdua. Uwuwuwu so sweeetttt. Wkwkwkk. Tapi syukurlah karena ternyata dia tetap support dan menganggap kerjaan domestik itu tugas berdua.
- Masalah keuangan rumah tangga.
Jika aku resign dan nggak jadi pegawai kantoran lagi, nantinya aku udah gaada gaji tetap. Gaada uang yang nominalnya pasti yang aku dapat di tanggal tertentu. Sementara, suami bukan pekerja kantoran yang dapat gaji pasti juga. Dia punya usaha, tapi namanya orang jualan (jualan jasa ataupun jualan produk apapun itu), gaada yang bisa mastiin dapat nominal berapa per bulannya, ya kan? Ya ada sih perkiraan kasar minimalnya berapa, tapi kan itu juga susah buat dijadiin patokan. Jadi kami putuskan untuk ambil jalan tengah. Jalan tengahnya tuh maksudnya biarin ngalir aja gitu wkwkwk. Kebetulan suamiku orangnya sangat-sangat-sangat santai. Berkebalikan dengan aku yang suka overthinking.
Intinya, kalau dapat rejeki, ya dibagi. Berapa buat modal muter usaha, berapa bisa dipake buat keperluan lain. Yang penting dikomunikasiin aja. Suami perlu tau kira-kira bulan ini butuhnya berapa buat apa aja, rencana ke depannya apa, yaudah diobrolin aja. Kalau udah ada rejekinya, alhamdulillah. Kalau belum ada rejekinya ,ya kita usahakan. Ngepet misal? *eh
- Tentang tanggung jawab antar-jemput anak
Kalau soal tanggung jawab momong dan mendampingi anak, sudah pasti selamanya jadi tanggung jawab berdua. Nah ini konteksnya bukan itu ya. Cuma di konteks antar-jemput kegiatan anak. Buat orang lain, di rumah tangga lain, mungkin sepele. Tapi lumayan penting nih buat aku. Jadi misal, antar-jemput sekolah itu jadi tanggung jawabku. Karena di jam itu, suami harus kerja. Untuk kegiatan lain, misal mengaji di TPQ. Apa suami masih mau antar-jemput anakku ngaji, setelah dia pulang kerja? Karena jam segitu kemungkinan aku harus ngerjain kerjaan rumah, misal masak untuk makan malam, bersih-bersih rumah, atau sekadar jagain anak kedua di rumah.
- Apa aku masih boleh berkarya meski di rumah saja
Karena belum tau nih, konteks berkarya di sini akan “menghasilkan” seberapa banyak. Jadi daripada nantinya aku berkarya dari rumah, tapi belum banyak hasilnya, terus dipermasalahkan di kemudian hari, kan mending dari awal aku obrolin aja ya. Jadi yaaa, biar kita sama-sama tau dan bisa antisipasi sama kemungkinan-kemungkinan konsekuensinya.
*******
Setelah semua diobrolin dan menyamakan persepsi, aku akhirnya mantap memutuskan resign. Mungkin ini karena efek akunya yang gampang overthinking aja yaaa, jadi kayanya semua-semuanya perlu dipikirkan. Kalau kamu kira-kira apa aja yang diobrolin bareng suami sebelum memutuskan resign?
- 10.33
- 0 Comments